Terlepas dari entah kamu apakan semua surat yang kualamatkan kepadamu, ternyata aku sudah melepas harapan menerima balasan yang datang bertuliskan namamu, bahkan menerima pengembalian surat-suratku.. paling tidak itu tandanya kamu pernah membacanya, bukankah aku bisa tahu dari bentuk amplop itu? Apakah masih amplop yang kukirimkan, atau kamu sudah menggantinya? Ataukah masih dalam keadaan licin bersih, pertanda kamu belum membuka atau membaca. Alangkah sedihnya jika begitu.
Ataukah ini salahku yang tidak juga mampu menuliskan alamat darimana seharusnya surat-surat itu berasal? Yang selalu menyemarakkah harimu di hari senin yang pekat, yang kamu tidak suka itu.
Tidak ada yang cukup istimewa dengan perjumpaan, jadi aku tidak bisa menceritakan apa-apa padamu akan keindahannya. Perjumpaan kita, wanitaku.... hanyalah suatu awal dari lembaran kisah semu ini. Saat aku menerawang menangkap biru langit dari sebuah balkon di suatu tempat, dan kamu yang memaku pandanganku untuk tetap dalam sosokmu. Kamu disana, di bangku beton... dan bukan karena kecantikanmu yang memukau saat itu, wanitaku.. kamu tengah membelakangiku saat itu, aku cuma bisa melihat bidang punggungmu. Aku hanya merasa tengah melihat keindahan yang rapuh. Kamu ada disana, dan aku bisa melihat lembaran bulu sayap tak kasat matamu berjatuhan, dan sayap kirimu melengkung bengkok.. patahkah?
Untuk kemudian aku tersadar ingin membenarkannya, memasangnya ke tempat semula. Tapi rasa takut ini nyata, setiap kali aku dengar kamu bilang "jangan....," pada setiap mulut yang menawarkan untuk membenarkan sayap itu untukmu. "tidak..," katamu dan kamu lantas menepisi tangan-tangan itu, yang memaksa dengan penasaran pada sayapmu akankah bisa jadi kuat lagi dengan usaha mereka?
Baik-baik sajakah kamu, wanitaku? Mengapa selalu sembunyi dari ramai dan dalam sedihmu? Mengapa rasa percayamu terkikis sebanyak itu? Waktu terus berjalan, wanitaku... izinkan aku meniupi tiap duka dari pikiranmu lewat embun yang kamu hirup waktu dini hari, izinkan kukirimkan angin untuk menerbangkan lelehan air matamu yang aku tidak bisa hapuskan.
Sementara aku adalah lelaki yang juga tak sepantas itu untukmu, aku peragu. Ragu untuk memberitahumu yang bahkan tidak tahu bahwa aku bukan hanya hembusan karbondioksida. Tapi aku akan ada, dan dengan banyak cara aku ada.. mencoba mewarnai harimu dengan crayonku. Mungkin cuma segaris dua garis, tapi percaya saja.. aku cukup bergembira mampu menghadirkan tawamu. Semoga aku tidak salah waktu.
Kamu duduk di bangku beton itu lagi disuatu sore yang biru (atau aku yang tak mampu meraihmu maka merasa biru?), kamu menulisi sesuatu.. entah apa dan kukirimkan padamu wajah polos lugu itu, menyerahkan permen loli padamu. Warna merah, semerah pipimu yang dicumbu surya. Aku lihat kamu tertawa mendengar makhluk polos itu berkata, "ini untuk kakak.. diterima yaa.. dari seorang malaikat berhati baik," Ah polosnya, padahal benar.. aku tidak mengajarinya kata-kata itu. Aku hanya memberinya coklat sembari meminta tolong pada makhluk manis itu untuk memberikan permen itu padamu.
Aku juga melihat kamu celingukan, padahal ada aku disana.. menatapimu dalam jarak dekat.. berhasil mengintip pecahan hatimu di tiap lembar yang kamu tuliskan. Menurutmu sejatinya semua wanita itu sama, terlalu teracuni dengan cerita negeri dongeng.. Saat cuma ingin jadi putri, berbaju indah dan sengsara lantas menemukan pangerannya yang akan mengajak dia berdansa atau memainkan biola atau menyanyikan lagu atau membacakan puisi untuk dia, kemudian di akhir cerita dia akan menemukan happy endingnya sebagai seorang putri yang bahagia.
Tapi kamu tidak, kamu yang ternyata juga ingin happy ending tidak butuh pangeran.. kamu hanya butuh seseorang yang berlembut hati dan cukup waktu untuk merasa membuatmu dimengerti, seseorang yang bersamanya kamu tahu bahkan ketika dunia pergi dia akan tetap bersedia ada disebelahmu dan meyakinkanmu : jangan sedih, aku ada disini bersamamu. Seseorang yang tidak banyak berkata tapi merangkai jutaan hal-hal sederhana yang indah untukmu, kamu hanya butuh dicintai tanpa syarat, sejenis cinta yang mengikat tanpa membelenggu, kamu hanya butuh ingin jatuh cinta tanpa berusaha dan tanpa harus merasa perlu memaksa dirimu.. karena bukankah begitu seharusnya cinta? dia hanya perlu mengalir, mengisi penuh hati-hati yang kosong dengan hadirnya bukannya dialirkan melalui pipa-pipa raksasa. Dengan kehadiran tak wajarnya, bukankah hanya akan membuat bendungan hatimu runtuh?
Kamu tertawa saat itu, di depan mataku yang mengamatimu kendati kamu tidak tahu, dan di depan makhluk mungil menggemaskan di depanmu. "Iya.. aku tidak butuh pangeran, aku hanya butuh kehadiran malaikat..," katamu dengan tawa kecil membahana. Kamu tahu, kamu hanya berkata pada dirimu, bukannya membisikkan lewat daun-daun gugur ini kepadaku.
Wanitaku, maharani yang bertahta di singasana bangku beton itu sendirian.. saat itu aku merasa sedih, karena aku tahu aku bukan malaikat yang kamu butuhkan. Jadi kugenggam erat keinginan untuk mulai melangkahkan kakiku ke arahmu, aku berhenti, cukup disini. Maafkan aku, ini belum waktunya. Sungguh ini belum waktunya, jika belum waktunya.. bukankah sesuatu hal tidak jadi indah? Layaknya kuntum mawar yang sudah dicabut sebelum dia sempat mekar. Meskipun aku masih akan menjatuhkan kuntum bunga mawar untukmu, atau es krim yang diantar penjualnya ke tanganmu, atau boneka kodok yang melompat mengejutkan dari kotaknya yang mampu membuatmu tergelak itu.. aku bukan malaikat, aku hanya aku yang berusaha membuat tawamu tak pernah sirna. Sungguh, aku masih menunggu suatu saat kamu akan berujar bahwa sebenarnya kamu tidak butuh malaikat, kamu hanya butuh aku. Dan jika saat itu akhirnya mampu tiba, ketika kamu akhirnya tahu, ketika kamu mengizinkan dirimu tahu, ya saat itu.. izinkan aku menjadi akhir indah yang kamu selalu nanti.
Lagi Lagi mencoba "menulis" dari sisi Pria :)
Malam Ini Bulan terang, langit tak berkabut, tapi tetap tanpa bintang. Bulan tanpa bintang sama saja bohong. Mama masih Ngomel, gara gara Saya yang bela belain maen Baseball, padahal kemarin habis maen basket habis-habisan. Ga kerasa Sudah 1 jam mama ngomel tentang bandel nya Saya, dan Malesnya Saya minum Obat. "Ma, aku bosan lihat Obat, Aku bosan minum obat. "
Mengapa si aku batal menghampiri si gadis?
BalasHapusSebelum ini, aku selalu menggunakan pendekatan strukturalisme untuk menganalisis tulisan-tulisan Helda (di note facebook). Strukturalisme berarti mencari elemen-elemen karya sastra, kemudian dari elemen itu diidentifikasi oposisi binernya, ironinya, paradoksnya, paralelnya, dll. Dalam sejarah kritik sastra dunia, strukturalisme dilanjutkan dengan post-strukturalisme, yang terkenal dengan metode dekonstruksi. Lalu kritik sastra berkembang lagi dengan banyak teori, di antaranya adalah psikoanalisis.
Psikoanalisis digagas oleh Freud (1856-1939). Dalam kritik sastra, teori ini digunakan untuk menganalisis pengarang, proses kreatif, dan atau tokoh dalam cerita. Pada kesempatan ini, aku akan mencoba menganalisis salah satu karakter dalam tulisan Helda dengan psikoanalisisnya Freud. (Sebenarnya aku agak minder dengan teori ini, karena mama Helda adalah psikolog, tentu lebih menguasai teori psikoanalisis. Ditambah lagi, Helda tentu belajar obat-obatan yang berpengaruh pada jiwa. Tapi setidakya Helda jadi tahu bahwa teori ini berlaku juga dalam kritik sastra.)
Freud membagi struktur kepribadian dalam tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego. Id adalah aspek ragawi yang bekerja berdasar insting dengan prinsip survival dan kenikmatan. Id menduduki wilayah tak sadar. Sedang ego bekerja berdasar prinsip realitas, secara sadar menerjemahkan kebutuhan id sesuai objek nyata yang ada. Dan super ego merupakan representasi masyarakat, kehendak eksternal yang sering kali bertentangan dengan kebutuhan id. Lalu akibat pertentangan antara super-ego melawan id itu, muncullah mekanisme pertahanan dalam ego.
BalasHapusDi samping itu Freud juga mengidentifikasi perkembangan emosional dan seksual manusia dalam tiga fase saat masih bayi, yaitu oral, anal, dan falus. Fase oral (0 sampai 18 bulan) adalah tahap dimana bayi merasakan kenikmatan pada mulutnya, seperti menyusu, atau mengulum jari. Pengalaman apa pun yang terjadi pada fase ini akan membentuk karakter pada masa dewasanya nanti. Jika bayi memiliki trauma dalam fase ini, misal disapih terlalu dini atau yang lain, maka pada dewasanya nanti ia akan memiliki kebiasan aneh dengan mulutnya, seperti menggigit jari, merokok, termasuk menggosip. Fase anal (18 bulan sampai 4 tahun) adalah saat bayi merasakan kenikmatan pada fungsi-fungsi tubuh, terutama fungsi ekskresi (pembuangan). Jika seorang bayi terbiasa menahan poop dan pipis sampai akhirnya mengompol, itu juga akan berpengaruh pada kepribadiannya kelak. Fase falus (3 sampai 7 tahun) adalah fase identifikasi jenis kelamin yang diwakili oleh tarik ulur antara sosok ayah dan ibu.
Kira-kira itu garis besar teori psikoanalisis Freud yang akan kugunakan untuk menganalisis karakter 'aku' dalam cerpen Helda. Secara spesifik ulasan ini untuk mencari tahu mengapa tokoh aku dalam cerpen ini tidak jadi berkenalan dengan si gadis. Cerita ini diakhiri dengan keputusan tokoh aku (selanjutnya akan kusebut si pria) untuk meninggalkan si gadis sebelum sermpat berkenalan.. Pembaca tiba pada pengetahuan bahwa tak ada kontak langsung ataupun percakapan antara si pria dengan si gadis. Sementara sepanjang cerita si pria sudah melakukan banyak hal. Tidak saja mengamati si gadis dari kejauhan, tapi juga melakukan kontak tidak langsung dengan mengirim permen lewat seorang gadis cilik. Kemudian dari sana ia bisa mengamati reaksi si gadis atas kiriman yang misterius itu. Si pria juga bahkan--entah bagaimana--sempat mengintip tulisan si gadis dan membacanya, hingga ia tahu apa yang menjadi idealisme si gadis dalam urusan asmara. Ia juga sempat mendengar gadis itu menggumamkan kalimat tentang tipe pria yang menjadi idamannya.
Menurut pengakuan si pria (pada paragraf akhir), ia batal berkenalan dengan si gadis karena ternyata ia bukan pria tipe pilihan si gadis yang diibaratkan sebagai malaikat. Tapi si pria masih menanti kesempatan lain hingga gadis itu merubah idealismenya tentang tipe pria idaman, yaitu yang bukan lagi seperti 'malaikat'. Namun ternyata setelah keputusan batal berkenalan itu, si pria justru lebih intensif dalam upaya membangun komunikasi lewat surat-surat tanpa alamat, yang artinya ia masih menyembunyikan identitasnya, sebagaimana diceritakan di paragraf awal sebelum kemudian flash-back ke peristiwa perjumpaan tanpa kontak langsung itu.
BalasHapusSingkatnya, si pria terpikat pada si gadis, tidak berniat melupakan, tidak rela meninggalkan, tapi juga tidak segera tiba pada keputusan untuk menghadirkan diri dalam kehidupan si gadis. Ia terjebak dalam keraguan. Mengapa?
Dipandang dari teori psikoanalisis, asmara tidak lain adalah representasi neurologis (syarafiah) dari kebutuhan tubuh untuk bertahan hidup. Asmara adalah insting hidup spesies untuk melangsungkan keberadaannya. Satu-satunya energi yang bekerja dalam urusan ini adalah libido. (Mungkin kita bisa berkilah bahwa kita belum berpikir sejauh urusan seksual. Tapi menurut Freud, seks itu pula yang menjadi tujuan utamanya. Dan karena kita sedang memakai teorinya, maka Freudlah yang menang. Kita mengalah saja, kecuali mau bikin teori sendiri, dan malah bisa punya gelar Doktor, hehe...)
Insting bertahan hidup dari tokoh pria dalam cerpen ini menyeruak dalam kesadaran, atau ego. Kemudian ego bekerja dengan mencari objek real, atau dalam cerpen ini secara kebetulan 'menemukan' objek real, untuk pemenuhan insting itu. Objek itu berupa gadis yang tampak sedang sendirian. Hingga di sini semua baik-baik saja. Insting bekerja, ego menanggapi, objek real ditemukan. Namun ternyata ada hambatan bagi si ego untuk menuntaskan pekerjaannya, karena super-ego menghedaki lain. Super-ego datang lewat pengetahuan bahwa tipe pria idaman si gadis adalah yang seperti 'malaikat'. Sedang si ego menyadari tidak memenuhi kriteria itu.
Di sinilah terjadi pertempuran antara id dengan super-ego; hasrat id atas gadis itu terhalang oleh super-ego berupa selera gadis yang berbeda. Lalu ego si pria terjepit di antara dua hal itu. Ego si pria harus bertahan dengan sebuah sikap. Dan sikap yang diambil adalah menunda keputusan untuk berkenalan. Ini berarti ego si pria itu merepres atau menekan hasrat id agar tidak muncul lagi dalam kesadaran ego. Tapi ternyata upaya represi itu gagal. Hasrat tetap merangsek ke dalam kesadaran, dan karena itu (seperti diceritakan pada paragraf awal) si pria masih berusaha menjalin kontak tidak langsung lewat surat-surat kaleng, surat-surat tanpa identitas pengirim. Ini juga menjadi pertanyaan, mengapa si pria tidak menunjukkan sekalian jati dirinya? Mengapa masih bersembunyi?
BalasHapusKeengganan si pria untuk menunjukkan identitasnya menandakan adanya kecemasan yang tak tertolong. Dan terhadap kecemasan itu ia memilih bersembunyi, bertahan dalam rasa aman, seperti janin yang meringkuk dalam rahim. Ini disebut regresi, kembali ke masa bayi dulu yang terasa lebih aman karena masa dewasa sekarang sedang terancam. Regresi termasuk mekanisme pertahanan ego. Tapi tidak semua orang melakukan regresi. Sedang si pria dalam cerpen ini melakukannya. Regresi menjadi pilihan dalam bertahan karena adanya masalah dalam proses perkembangan emosional pada fase anal dulu. Mungkin saja pria ini sewaktu bayi dulu suka menahan pipis, menikmatinya sampai akhirnya ngompol di kasur alih-alih segera ke toilet. Maka sekarang ia menikmati masa-masa menahan diri dari perkenalan dengan gadis itu, alih-alih segera berhadapan dan mengulurkan tangan sambil menyebut nama.
Simpulannya, pria dalam cerpen ini melakukan represi terhadap hasrat atas gadis itu. Represi gagal, ia tetap menghendaki si gadis. Tapi ada yang ia cemaskan pada dirinya untuk berkenalan dengan si gadis, yaitu kenyataan bahwa ia bukan tipe pria idaman si gadis. Lalu pria itu melakukan regresi, kembali mencari rasa aman pada masa kanak-kanak, yaitu menunda sesuatu, menunda momen untuk menunjukkan jati diri, sambil terus mempertahankan kontak tak langsung dengan si gadis yang dianggap sebagai objek real untuk memenuhi hasrat.
Helda, mungkin analisis ini masih terlalu kasar, karena sejujurnya ini kali pertama aku membuat analisis sastra dengan pendekatan psikoanalisis Freudian. Mungkin bahasa yang aku gunakan juga masih sulit dicerna. Kalau memang sulit dipahami, mungkin Helda bisa berdiskusi dengan mama, agar beliau turut mengoreksi tulisanku ini.
O ya, perlu aku tegaskan lagi bahwa yang kuanalisis di sini adalah kepribadian tokoh dalam cerpen ini, bukan pengarangnya (Helda). Jadi di sini aku semata-mata menganalisis tokoh pria yang fiktif itu.
BalasHapusMemang, pendekatan psikoanalisis dalam praktek kritik sastra bisa digunakan untuk menganalisis pengarang, atau proses penciptaan karya itu, dan juga tokoh di dalam cerita. Nah, yang kulakukan di sini adalah yang terakhir disebut itu (tokoh fiktifnya).
waw.. memang lbih bnyk dr ceritanya :), hld mengerti n memahami tntg teori freud yah.. setidaknya sedikit.. yea sifat pria yang mencari rasa aman dengan menunda nunda untuk mengenal gadis itu yg tampak. dia merasa aman dengan tidak harus mengetahui hasilnya,dgn tidak mengetahui apa yg dpikirkan gadis itu tentangnya, krn dia ragu trhadap dirinya sndiri, introvert. tp kmudian dy kmbali mmiliki rasa u/ingin dkat dgn gadis itu, dia mnciptakan ksempatan" setidakx agar gadis itu knal dgnnya. tp lagi" dia tdk bs
BalasHapuskluar dr zona amanx. tdk ckup jauh u/mmbuka idntitasx. dy hny mmbiarkan ksempatan" yg dybuat lepas bgtu saja hny krn dy mnikmati hasilx dr kjauhan. trkdg dy diam" melangkahkan kaki mndkti gadis itu, bertekad u/ mgenalkan diri/menyapa. tp rupanya dy tetap td bs keluar dr prlindunganx jd dy hny brjlan mlewati si gadis brpura"sbg pjalan kaki biasa pdhl dy menajamkan telinga dan matax u/mmprhatikan lbh dekat. hld sndiri jatuh cinta sm karakter ini, ulasan kk keren. mksih udah repot" bkin ini, makasih berat ya
BalasHapusKarya yang indah memang layak mendapat apresiasi yang tinggi :)
BalasHapushey nih karya orang lain lohhh.... coba dicek --> http://nindalicious.blogspot.com/2010/04/tunggu-saja-ya.html
BalasHapuskamu masih muda, jangan suka maen kopas karya orang.... kamu ga mau kan bermasalah dengan hkum karna masalah ini? hapus deeeh ato cantumin sumbernya.
kalo mentalnya cuma copy paste tulisan orang dan gak mencantumkan sumbernya lebih baik gak usah bikin blog. daripada bersusah payah untuk terlihat kreatif tapi ujung-ujungnya memalukan nama sendiri
BalasHapuscoba dicek karya aslinya --> http://nindalicious.blogspot.com/2010/04/tunggu-saja-ya.html